Jumat, 03 Februari 2017

Difabel Masih Mengalami Diskriminasi


PURBALINGGA – Kehidupan warga difabel masih dimarjinalkan, baik secara struktural maupun kultural.

 Hak-hak warga difabel seperti hak pendidikan, pekerjaan, kesehatan, jaminan sosial, perlindungan hukum, akses terhadap informasi dan komunikasi sampai pada penggunaan fasilitas publik belum diterima secara layak, dengan kata lain masih terjadi diskriminasi terhadap warga difabel.  

Istilah Difabel diperkenalkan pada tahun 1998, oleh para aktivis gerakan peduli Difabel sebagai ganti istilah Penyandang Cacat. Difabel merupakan kata yang diserap dari bahasa Inggris ‘ diffable’, akronim dari ’differently able people ‘ yang berarti orang yang mampu dengan cara yang berbeda.

Istilah difabel lebih mengacu kepada pembedaan kemampuan, bukan lagi kepada kecacatan atau ketidak sempurnaan, sedangkan istilah Penyandang cacat seringkali dikaitkan dengan masalah keterbatasan, ketidakmampuan, ketidakberdayaan, penyakit, dan anggapan lain yang membuat penyandangnya cenderung memperoleh persepsi negatif dan mengarah pada diskriminasi. 

Sri Wahyuni  Ketua Yayasan Pilar Purbalingga menjelaskan kata Penyandang Cacat sepertinya kita memberikan label kecacatan kepada mereka, sehingga mempunyai dampak yang sangat luas bagi penyandang cacat itu sendiri terutama pada subtansi kebijakan publik yang sering memposisikan penyandang cacat sebagai obyek dan tidak menjadi prioritas.

Pemerintah Indonesia melalui UU nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, semakin memperburuk anggapan tersebut. Selain menyebut penyandang cacat sebagai seseorang yang memiliki kelainan secara fisik dan mental yang dapat mengganggu dan menghambat aktivitas selayaknya orang normal. 

"Definisi tersebut justru semakin mempertegas adanya keterbatasan bagi difabel dalam menjalani kehidupan mereka di tengah masyarakat, termasuk dalam pekerjaan mereka," jelas Sri.

Dia menlanjutkan, sejalan dengan tuntutan dan perjuangan dari kaum difabel maka lahirlah UU nomor 19 tahun 2011 tentang pengesahan Convention on the Rights of Persons with Disabilities ( Konvensi Hak Hak Penyandang Disabilitas) menunjukan komitmen dan kesungguhan Pemerintah Indonesia untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak difabel yang pada akhirnya diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan difabel/disabilitas.  

Dengan demikian, difabel berhak untuk bebas dari penyiksaan/perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan martabat manusia, bebas  dari eksploitasi, kekerasan dan perlakuan semena-mena, serta berhak untuk mendapatkan penghormatan atas integritas mental dan fisiknya berdasarkan kesamaan dengan orang lain, termasuk di dalamnya hak untuk mendapatkan perlindungan dan pelayanan sosial dalam rangka kemandirian.

Sehingga UU no 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, secara subtansi sudah tidak sesuai dengan UU no.19 tahun 2011. Ini terjadi karena UU No 4 tahun 1997 masih cenderung berorientasi pada pemberian pelayanan berdasarkan amal atau charity based, belum perspektif hak asasi manusia. 

Untuk lebih menjamin kehormatan, kemajuan perlindungan, pemberdayaan, penegakan hukum dan pemenuhan hak hak difabel sudah saatnya dilakukan reformasi terhadap regulasi penanganan difabel. Maka dengan disahkannya UU Nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas pada bulan 15 April  2016 lalu merupakan langkah awal reformasi hukum terhadap penanganan rehabilitasi sosial bagi difabel. 

"Oleh karena itu, Pemerintah berkewajiban untuk merealisasikan hak yang termuat dalam konvensi, melalui penyesuaian peraturan perundang-undangan, termasuk menjamin pemenuhan hak difabel dalam segala aspek kehidupan seperti pendidikan, kesehatan, pekerjaan, politik dan pemerintahan, kebudayaan dan kepariwisataan, teknologi, informasi dan komunikasi," tegasnya. 

Dalam Undang-undang yang baru ini istilah cacat dihilangkan dan diganti dengan  istilah Disabilitas untuk menghilangkan kesan negatif, namun disayangkan masih terdapat kata penyandang yang masih menyertainya.
Sumber : http://www.timesindonesia.co.id/read/138609/3/20161213/223207/difabel-masih-mengalami-diskriminasi/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar